Advertisement

Generasi Milenial Memang Sudah Kecanduan Medsos

Annisa Margrit
Selasa, 22 Mei 2018 - 10:35 WIB
Maya Herawati
Generasi Milenial Memang Sudah Kecanduan Medsos Media sosial - Istimewa

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA--Kecanduan, meski bukan alkohol atau nikotin atau narkoba, tetap adalah hal yang buruk. Dampaknya tak baik bagi kesehatan tubuh dan jiwa. Salah satunya fenomena kecandua media sosial (medsos) para generasi milenial.

Kecanduan, meski bukan alkohol atau nikotin atau narkoba, tetap adalah hal yang buruk. Dampaknya tak baik bagi kesehatan tubuh dan jiwa. Salah satunya fenomena kecandua media sosial (medsos) para generasi milenial.

Advertisement

Perkembangan teknologi dan media sosial dalam beberapa tahun terakhir memunculkan kekhawatiran terhadap sisi negatifnya.

Meski tidak menyebabkan masalah fisik seperti yang disebabkan oleh kecanduan alkohol, tembakau, atau obat-obatan terlarang, tapi media sosial memiliki masalahnya sendiri. Adiksi terhadap media sosial bisa mengakibatkan gangguan jangka panjang terhadap emosi, perilaku, dan hubungan seseorang.

Dosen Tamu di Old Age Psychiatry King's College London Tony Rao mengatakan media sosial adalah sesuatu yang sangat penting bagi generasi milenial, yakni menjadi penghubung mereka dengan dunia luar. Bagi para milenial, yang lahir antara 1984-2005, teknologi digunakan untuk bersantai dan berinteraksi dengan orang lain.

Dalam tulisannya yang dipublikasikan di laman World Economic Forum (WEF), seperti dikutip Bisnis, Minggu (20/5/2018), Rao menekankan bahwa media sosial lebih berbahaya bagi pengguna berusia muda dibandingkan orang-orang yang lebih tua.

Menurutnya, kata kecanduan mengacu pada perilaku yang menyenangkan bagi seseorang dan menjadi satu-satunya alasan untuk menjalani hari-hari. Di sisi lain, hal-hal lainnya menjadi tidak signifikan.

"Generasi milenial mungkin tidak akan mengalami sakit liver atau kanker paru-paru dari media sosial, tapi tetap saja bisa merusak," papar Rao.

Akibat merusak ini terlihat dari perubahan perilaku. Kecanduan yang terjadi membuat mereka menghabiskan waktu semakin banyak untuk online demi mendapatkan rasa senang, yang berarti media sosial menjadi satu-satunya aktivitas yang membuat mereka terikat.

Adiksi ini juga berarti mengambil perhatian mereka dari tugas-tugas lainnya, membuat mereka merasa tidak senang ketika mengurangi atau berhenti berinteraksi dengan media sosial dan segera kembali ke media sosial setelah berhenti total.

Perhatian juga harus ditujukan terhadap efek media sosial terhadap tidur dan aktivitas offline lainnya, termasuk berinteraksi dengan orang lain secara tatap muka. Kecanduan media sosial pun terkait dengan depresi dan kesepian.

Para milenial sering mengecek profil media sosialnya dan melakukan update. Ini membuat mereka lebih rentan terhadap eksploitasi online dan meningkatkan pengambilan keputusan yang berisiko.

"Mereka seringkali percaya bahwa jika ada hal-hal yang tidak berjalan dengan baik, mereka akan mendapatkan bantuan dari komunitas online, meski komunitas ini terdiri dari orang-orang yang tidak dikenal," lanjut Rao.

Dia menuturkan sebagian orang mengandalkan kemampuan berpikir, merasa, dan berperilaku untuk membentuk citra diri. Tetapi, masalahnya dengan media sosial adalah citra diri bergantung sepenuhnya pada orang lain dan opini mereka.

Berdasarkan penelitian dari Office of National Statistics Inggris, dalam periode 2005-2016 jumlah generasi muda (16-24 tahun) yang pantang minum minuman beralkohol naik menjadi 24%. Pada satu dekade sebelumnya, jumlahnya hanya 17%.

Artinya, anak-anak muda lebih senang menghabiskan waktu untuk online dibandingkan berkumpul bersama teman di kedai minum.

Namun, sampai saat ini belum ada klasifikasi adiksi media sosial sebagai gangguan mental. Padahal, kecanduan media sosial sudah mulai menjadi perhatian.

"Jika kita ingin ini terjadi, perlu ada definisi yang jelas mengenai gejala dan perkembangannya dari waktu ke waktu," ucap Rao.

Ada sejumlah pertanyaan yang harus dijawab, seperti apakah kecanduan ini kondisi turunan? Apakah ada tes darah yang bisa membedakannya dari gangguan mental lain? Apakah kecandun ini akan merespons terapi obat atau psikologi?

Dia menyimpulkan masih ada banyak pertanyaan dibandingkan jawaban terkait adiksi jenis baru ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Kereta Bandara YIA Rabu 24 April 2024, Harga Tiket Rp20 Ribu

Jogja
| Rabu, 24 April 2024, 04:17 WIB

Advertisement

alt

KPK Bidik LHKPN 2 Pejabat Pemilik Kripto Miliaran Rupiah

News
| Rabu, 24 April 2024, 01:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement