Advertisement

Melatih Anak Berpuasa, Menanamkan Kerelaan

Yoseph Pencawan
Rabu, 23 Mei 2018 - 12:35 WIB
Maya Herawati
Melatih Anak Berpuasa, Menanamkan Kerelaan Ilustrasi anak-anak muslim - Reuters

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA—Melatih anak-anak untuk terbiasa berpuasa, khususnya mereka yang masih berusia di bawah lima tahun perlu mendapatkan perhatian serius bagi orang tua. Hal itu juga berkaitan dengan pelaksanaan syariah agama.

Meskipun banyak dari anak-anak usia empat hingga lima tahun sudah mengenal konsep puasa, tetapi harus diakui masih cukup sulit untuk menerapkan aturan puasa secara penuh seperti orang dewasa.

Advertisement

Karena itu dibutuhkan persiapan yang baik oleh orang tua untuk membiasakan anaknya yang masih kecil berpuasa. Persiapan dapat dilakukan mulai dari sekarang atau beberapa hari sebelum bulan puasa.

Tidak perlu dengan sesuatu yang serius, tetapi bisa saja dimulai dengan membuat suasana semacam perayaan menjelang bulan puasa. Seperti dengan mengucapkan selamat berpuasa kepadanya dan bisa juga ditambah dengan properti lain untuk menyemarakkan suasana seperti balon.

Kemudian orang tua memberi penjelasan bahwa bulan puasa bukan berarti pelarangan untuk makan dan minum dari pagi sampai sore, melainkan hanya memindahkan waktu makan. Lalu orang tua memulainya dengan menggeser waktu makan anaknya, misalnya bila terbiasa sarapan pada pukul 07.00 WIB, maka anak diajak makan lebih pagi lagi dan baru memperkenankan anaknya makan agak siang.

Namun orang tua juga tidak harus terlalu ketat atau terlalu memaksa karena konsep ini bersifat melatih. Terlebih, pada saat bulan puasa si anak juga akan mencontoh anggota keluarga lain di rumahnya dalam pelaksanaan puasa.

Orang tua tidak perlu terlalu ketat, misalnya ketika merasa kasihan melihat anaknya terlihat sudah bersusah payah menahan lapar, maka akan lebih baik diperkenankan untuk makan. Pembiasaan berpuasa kepada anak-anak balita masih bersifat melatih, kecuali sudah tujuh tahun ke atas.

“Pembiasaan ini bersifat latihan bagi anak-anak untuk terus meningkatkan kemampuan dirinya sendiri, dari bulan puasa tahun lalu dan berlanjut ke bulan-bulan puasa tahun berikutnya,” tutur Psikolog Tanti Diniyanti.

Dalam konsep pembiasaan ini, orang tua juga perlu mempersiapkan aktivitas tambahan kepada anaknya sehingga ketika si anak merasa lapar, dia bisa diajak mengerjakan aktivitas lain untuk mengalihkan perhatian, misalnya dalam bentuk permainan. Kegiatan itu juga bisa diterapkan kepada anak pada saat puasa tiba.

Selain itu, pembiasaan ini juga perlu dilakukan agar si anak menyukai pelaksanaan puasa, tidak merasa dipaksakan. Karena itu, orang tua tidak perlu memberikan gambaran bahwa puasa itu suatu pelaksanaan ibadah yang berat karena menahan lapar dan haus, apalagi itu bisa saja membentuk persepsi kepada anak sampai dia dewasa.

“Daripada mengatakan bahwa puasa itu sangat berat, kalimatnya diganti, misalnya puasa itu hanya memindahkan waktu makan. Biasanya sarapan jam tujuh pagi menjadi jam empat [waktu sahur], waktu makan berikutnya adalah saat magrib dan makan malamnya adalah antara magrib sampai sahur,” kata Tanti, belum lama ini.

Jadi, selain konsep melatih anak terbiasa berpuasa, konsep penyampaian penjelasan mengenai puasa juga perlu diperhatikan oleh orang tua.

 

Beri Penghargaan

Tanti menambahkan karena anak-anak juga senang bila usahanya diberi penghargaan atau hadiah, maka orang tua bisa juga memberikan hadiah kecil setiap hari setelah anaknya selesai menjalankan puasa dan setidaknya memberikan ucapan selamat.

Namun bila si anak tidak kuat berpuasa sesuai dengan jam yang ditentukan, tidak perlu memberikan hukuman kepadanya, termasuk pernyataan mengejek, menyindir dan sebagainya.

Hal itu harus diberi pemakluman karena mereka masih dalam tahap belajar sebab tujuan terpenting dari pembiasaan ini adalah anak-anak menyukai berpuasa. Pada saat bulan puasa, orang tua juga tidak perlu menghindari anak-anaknya yang masih balita melihat di lingkungan atau dalam perjalanan, mereka yang tidak berpuasa.

Misalnya karena khawatir akan mempengaruhi pemikiran anaknya mengenai puasa. Hal itu karena kondisi tersebut dapat membuka ruang diskusi antara orang tua dan anaknya untuk menceritakan mengenai realitas sosial. Dalam diskusi tersebut orang tua juga bisa menanamkan pemahaman bahwa berpuasa tidak hanya mengenai menahan lapar dan haus tetapi juga pengendalian diri.

“Mengendalikan diri dari terbawa emosi, berburuk sangka, bersabar, memantapkan hati dan pikiran dan sebagainya. Melatih berpuasa juga mengenai bagaimana anak dilatih untuk mematuhi aturan agama tanpa pengawasan.”

Pembelajaran berpuasa kepada anak juga sekaligus melatih sikap kerelaan dari dirinya untuk tetap mematuhi aturan agama tanpa harus diawasi orang tua atau orang lain. Konsep pelatihan ini harus diajarkan bertahun-tahun. Ketika dia melihat ada yang tidak berpuasa—padahal seharusnya mereka berpuasa—si anak juga mendapatkan nilai-nilai pemahaman bahwa ada kondisi tertentu di mana orang dapat tidak berpuasa.

“Namun yang pasti, orang tuanya harus puasa juga karena menjadi contoh terdekat. Bila tidak demikian, akan sulit bagi anak untuk bisa paham karena bingung. Akan susah bagi si anak untuk menerima pembiasaan berpuasa.”

Bila kondisi tersebut terjadi (orang tuanya tidak berpuasa), akan memberikan dampak yang besar kepada anak karena akan memiliki persepsi bahwa orang tuanya tidak konsisten.

Namun tidak jarang juga orang tua “kebablasan” karena memaksakan anaknya berpuasa penuh kendati masih berusia tempat hingga lima tahun. Apalagi pemaksaan tersebut karena membandingkannya dengan anak lain yang sudah mampu berpuasa sebulan penuh.

Menurut Psikolog Ihsan Gumilar, secara prinsip, salah satu cara mendidik anak adalah dengan tidak membandingkannya dengan anak yang lain. Anak harus dibandingkan dengan dirinya sendiri atas apa yang pernah dicapainya, misalnya bila pada tahun lalu si anak belum bisa berpuasa penuh, maka dia diarahkan untuk melampaui pencapaian tersebut dengan mendorongnya untuk lebih baik lagi. Pelaksanaan ibadah puasa bukan persaingan antara anak yang satu dengan lainnya.

Setiap anak punya kemampuan masing-masing dan dipengaruhi juga dari konsep pembelajaran dari orang tuanya serta kondisi kesehatan. Bila ada anak yang mampu berpuasa sebulan pun perlu diperhatikan apakah dia dapat melakukan hal yang sama atau tidak, karena bisa saja dia dapat berpuasa sebulan penuh karena merasa dipaksa.

Hal terpenting dalam membiasakan anak berpuasa adalah kerelaan mereka untuk mengikuti aturan agama. Nilai-nilai dari kerelaan tersebut dapat bertahan lama dari pada sekedar mengarahkan menyelesaikan puasa. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Disbud DIY Rilis Lima Film Angkat Kebudayaan Jogja

Jogja
| Jum'at, 26 April 2024, 19:27 WIB

Advertisement

alt

Ditanya soal Kemungkinan Maju di Pilkada, Kaesang Memilih Ini

News
| Jum'at, 26 April 2024, 19:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement