Advertisement

KOMUNITAS: Mencari Titik Nol Melalui Susun Batu bersama Balancing Art

Lajeng Padmaratri
Minggu, 09 September 2018 - 20:35 WIB
Maya Herawati
KOMUNITAS: Mencari Titik Nol Melalui Susun Batu bersama Balancing Art Rock balancing oleh Ketua BAI, Suryadi.

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA--Beberapa kalangan kerap menganggap kegiatan menyusun batu erat kaitannya dengan hal mistis. Padahal, seni keseimbangan ini bermanfaat bagi jiwa yang melakoninya.

Pada mulanya, kedua tangan Idi Purbalaksana gemetar. Perlahan ia mencoba menenangkan diri dan mecoba fokus kepada objek-objek di hadapannya. Masing-masing tangannya memegang sebuah gelas. Sambil mencari titik nol yang menghubungkan kedua benda tersebut, Idi mencoba menumpuk gelas yang satu di atas gelas yang lain.

Advertisement

Namun, tumpukan yang dibuat Idi tidak dalam posisi dua gelas bertumpukan lurus yang normal. Gelas pada bagian atas ia miringkan sekitar 45 derajat. Setelah beberapa saat menggeser-geser gelas bagian atas ke posisi yang dirasa pas, Idi berhenti. Perlahan dijauhkannya kedua tangannya dari tumpukan gelas yang kini posisinya tidak beraturan. Meski tidak beraturan, tetapi tumpukan itu mampu bertahan untuk beberapa saat.

Orang awam akan mengira hasil karya Idi merupakan gelas yang dilekatkan menggunakan lem. Padahal yang dilakukannya adalah salah satu praktik balancing art. Seni keseimbangan ini sedang trend di Indonesia beberapa tahun terakhir.

Mayoritas orang melakukannya demi mendapatkan seni visual yang apik, meski tidak sedikit pula yang mencari manfaat di baliknya. Orang-orang ini tergabung dalam Komunitas Balancing Art Indonesia atau BAI. Idi adalah salah satu anggotanya.

Kepada Harian Jogja, Idi bercerita BAI didirikan oleh Suryadi pada 5 Mei 2013. Suryadi atau akrab disapa GT memopulerkan seni keseimbangan ini melalui media sosial. Mulanya di Facebook, kemudian kini di Instagram. Ia mencoba mengajak orang-orang untuk turut serta menjajal seni yang berkaitan dengan gravitasi ini. Ia yakin bahwa di balik seninya yang cantik secara visual, berlatih balancing art dapat bermanfaat bagi kesehatan jiwa dan raga bagi mereka yang melakoninya.

Setelah menyosialisasikan balancing art selama bertahun-tahun, seni ini akhirnya semakin populer di Indonesia. Sebagai pendiri sekaligus ketua, GT tidak membatasi orang yang ingin bergabung ke komunitasnya.

Siapapun yang mau mempraktikan balancing art dan mendokumentasikan serta mengunggahnya ke media sosial dianggap bergabung dalam Komunitas Balancing Art Indonesia. Bahkan di grup Facebook BAI terdapat lebih dari .2000 anggota yang aktif memposting hasil karya balancing art mereka. Khusus di DIY, para anggotanya sering berlatih bersama di Markas Besar Balancing Art Indonesia yang terletak di Jembatan Gantung Selopamioro, Sungai Oya, Imogiri, Bantul.

“Pada dasarnya, yang dilakukan melalui balancing art ialah menemukan titik nol atau zero gravity melalui pertemuan vertical line dan horizontal line,” jelas Idi ketika mencoba menjabarkan kegiatan yang mulai ditekuninya sejak Februari 2018 ini.

Dua Jenis

Di dalam balancing art ada dua bagian seni keseimbangan yaitu basic balance dan fix media balance. Basic balance dianggap sebagai teknik dasar seni keseimbangan dengan penggunaan media batu. Umumnya seni jenis ini dipraktikkan di alam terbuka seperti di tepi sungai. Sedangkan fix media balance lebih sering dijajal oleh pegiatnya yang kesulitan menjangkau alam terbuka, sehingga praktik ini dilakukan di dalam ruangan dan menggunakan media lain, mulai dari gelas, piring, botol, ponsel, hingga yang paling ekstrem ialah kendaraan bermotor.

Dari jenis basic balance dapat dihasilkan susunan batu dengan beberapa gaya, antara lain stacking, bridge, tic tac toe, counter balance, flower, tornado, rodeo, combo dan jedi. Gaya jedi merupakan kolaborasi antara gaya-gaya basic balance yang lain. Sedangkan, jenis fix media balance umumnya hanya membentuk gaya stacking.

Dari kedua jenis ini, Idi menjelaskan bahwa penggunaan fix media balance lebih mudah dibandingkan basic balance. Sebab, permukaan dari benda-benda fix media lebih mudah disesuaikan dan disusun ketimbang batu yang ada di alam. Meski begitu, ia lebih menyenangi proses balancing art menggunakan media batu kali karena kesulitan yang menyertainya bisa melatihnya untuk bersabar.

Idi mengatakan, tantangan terbesar yang ia hadapi ketika menyusun batu di outdoor atau luar ruang ialah kemunculan angin. Batu yang berhasil bertumpuk bisa jadi langsung ambruk setelah dihembus udara yang bergerak, termasuk nafasnya sendiri. Lain halnya ketika menyusun fix media di dalam ruangan. “Kalau nggak ada gempa kayaknya nggak bakal jatuh,” tuturnya.

Sampai saat ini, Komunitas Balancing Art Indonesia semakin aktif memperkenalkan seni keseimbangan ini di Indonesia melalui beragam media. Balancing art bukan hanya sekadar visual art, melainkan seni yang memiliki filosofi dan manfaat yang beragam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Viral Balon Udara Tiba-tiba Mendarat di Runway Bandara YIA

Jogja
| Sabtu, 20 April 2024, 08:17 WIB

Advertisement

alt

KPK Ungkap Mantan Kepala Bea Cukai Jogja Lakukan Pencucian Uang Capai Rp20 Miliar

News
| Sabtu, 20 April 2024, 07:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement