Advertisement

STOP PHUBBING: Saatnya Meletakkan Ponsel lalu Melihat Lawan Bicara

Salsabila Annisa Azmi
Kamis, 29 November 2018 - 09:35 WIB
Maya Herawati
STOP PHUBBING: Saatnya Meletakkan Ponsel lalu Melihat Lawan Bicara Ilustrasi pengguna ponsel - Reuters

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Istilah phubbing datang dari Australia sekitar 2012. Sejumlah riset di berbagai negara menunjukkan hasil negatif terkait dengan phubbing. Bagaimana dengan pengguna ponsel di Jogja?

Awalnya istilah ini diciptakan oleh seorang mahasiswa Australia yang sedang magang di sebuah perusahaan periklanan McCann di Australia.  Phubbing tercipta dari gabungan dua kata yaitu phone (ponsel) dan snubbing (mencerca) yang kemudian diartikan sebagai perilaku yang meremehkan/mencerca/menghina orang lain dalam lingkup sosial dengan lebih memilih melihat ponsel dibanding memberi perhatian kepada orang lain.

Advertisement

Pelakunya disebut sebagai phubbers, yakni orang yang terus menerus mengecek email, sosial media, atau chatting menggunakan gawai.  Penyebarluasan phubbing dimulai oleh saat McCann Melbourne menggandeng tim Macquaire Dictionary (Kamus Macquaire) pada Mei 2012. Mereka mengundang  para lexicographers (editor/penyusun kamus), penulis buku dan puisi untuk memperkenalkan kata phubbing di media massa dengan kampanye Stop Phubbing. Lalu dilanjutkan dengan penyebarluasannya di seluruh dunia melalui website stopphubbing.com.

Kampanye ini memiliki alasan kuat sebab fenomena phubbing memang telah seperti penyakit dalam perilaku sosial masyarakat. Para remaja paling kerap menjadi phubbers. Tak terkecuali di Jogja.

Rachma Dian Nisa, 17, contohnya. Suatu siang ia berkumpul dengan teman-teman SMA nya di sebuah kafe tengah kota. Agenda siang hari itu adalah rapat membahas tugas dan ngobrol ringan. Sembari menunggu beberapa teman yang belum datang, Nisa dan teman-temannya tak pernah melepaskan ponsel dari tangan mereka. Tak jarang mereka lebih banyak membisu satu sama lain. Nisa menganggap hal ini adalah hal biasa.

"Itu lagi pada sibuk update media sosial masing-masing. Menurutku lebih enak ngobrol langsung daripada sibuk sama ponsel masing-masing, mungkin sebenernya mereka tahu dampak negatifnya, tetapi memilih membiarkan," kata Nisa, kepada Harian Jogja saat mengampirinya.

Kawan Nisa, Alfianto Brilian Agam, 17 menanggapi pendapat Nisa. Menurut Alfi, mereka memilih nongkrong di kafe karena bosan di rumah dan ingin ngobrol dengan teman-teman. Namun sesampainya di kafe, biasanya berbincang melalui aplikasi di ponsel menjadi alternatif saat di dunia nyata mereka tidak tahu lagi harus membahas apa. Istilahnya saat mereka kehabisan bahan pembicaraan.

"Kalau dirasakan lagi, lebih senang ngobrol lewat aplikasi, karena enggak harus mengekspresikan secara langsung. Sebenarnya ada ruginya, nanti kalau keseringan jadi susah berinteraksi secara langsung," kata Alfi.

Hal serupa juga dilakukan Reihana Asyifa, 13, yang tak henti menggulir layar ponsel merahnya di sebuah resto cepat saji di Kawasan Malioboro, pekan lalu. Beberapa kali ia berhenti jika sesuatu di hadapannya menarik perhatiannya. Sesekali ia menengadah, memastikan apa kawan sekolahnya yang sedang memesankan makanannya sudah kembali.

Padahal kawan sekolahnya yang lain, Niken Triyulitasari, sedang duduk di hadapannya. Sama seperti Syifa, Niken pun tampak menggulir layar ponsel pintar, meski tak sesering dirinya. Mereka berdua sedang menunggu kawannya yang lain. Syifa dan Niken adalah siswi kelas VIII dari salah satu SMP di Tegal. Ia sedang berlibur ke Jogja dalam rangka study tour.

Saat disapa Harian Jogja sore itu, Syifa sebenarnya menyadari bahwa dirinya terlalu banyak menatap ponsel ketimbang kawan di hadapannya. "Enggak tahu, ya? Emang udah refleks," kata gadis berkerudung ini. “Udah kebiasaan. Asyik gitu, kan.”

Meski terus menerus asyik dengan ponsel dan cenderung mengacuhkan realita di sekelilingnya, Syifa mengaku bahwa perilakunya itu memiliki dampak negatif. Ketika terlalu banyak bermain ponsel konsentrasinya pada hal lain agak terganggu. Begitu juga Niken, ia merasa terlalu banyak melihat ponsel akan lama kelamaan merusak penglihatannya.

Dilakukan Ibu-Ibu

Phubbing tak hanya dilakukan para remaja. Fenomena ini seperti tren di kalangan ibu-ibu.  Sebut saja Fitri Yani, seorang ibu yang aktif berkegiatan di sebuah komunitas perempuan lintas iman, mengaku juga sering lari ke ponselnya ketika sedang terlibat dalam obrolan perkumpulan.

Menurut dia rata-rata ibu-ibu saat ini memang aktif di media sosial dan messenger, terutama Whatsapp group. “Tergantung acara ngumpulnya, kalau menarik biasanya enggak terlalu banyak main HP. Tapi kalau enggak menarik, ya larinya ke HP,” ujar ibu satu anak ini kepada Harian Jogja.

Fitri akan chatting dengan grup di ponselnya. Sesekali ia juga akan memperbarui unggahan di media sosialnya, meski diakuinya tidak terlalu sering. Anaknya yang kini sedang duduk di jenjang terakhir sekolah dasar juga telah memiliki ponsel. Sama seperti dia, anak laki-lakinya itu juga memiliki grup dengan teman-teman di Whatsapp dan akun media sosial Instragram. Meski sudah diperbolehkan memegang ponsel, tetapi Fitri membatasi penggunaanya untuk akhir pekan saja.

Jika sedang bersama putranya, Fitri mengaku juga masih sering memainkan ponselnya. “Iya, terkadang. Tapi, kami ngobrol juga. Dia anak yang suka bertanya,” ujar perempuan yang tinggal di Godean ini. Ia menyadari bahwa jika ia menggunakan ponsel ketika mengobrol dengan anaknya, hal itu akan memengaruhi komunikasi mereka. “Tapi tergantung lagi sama tema obrolan. Kalau biasanya enggak menarik ya disambi HP-an, tapi kalau serius ya fokus,” jelasnya.

Rosalina Sri Redjeki, 49, yang kini memiliki putri beranjak remaja ini mengaku tidak terlalu aktif berbincang melalui media sosial. Namun dia sering mendapati teman-teman arisannya sibuk dengan ponsel masing-masing. Biasanya karena chat group Whatsapp.

"Sekarang setiap sudut kafe, warung, mereka datang bersama-sama tapi pas makan sambil liat gadget, ngobrolnya lewat gadget. Pas bareng keluarga aja ada yang bawa anaknya, sampai di tempat malah sibuk sama gadget-nya," kata Rosalina.

Rosalina sadar dampak buruk akan kebiasaan satu ini. Sebab kemampuan untuk berinteraksi secara langsung baik itu dengan teman ataupun anak akan berkurang. Kualitas obrolan juga akan menyusut dan tidak ada ikatan yang kuat dalam hubungan interpersonal. Namun dia juga sadar bahwa kini gadget telah menjadi bagian hidup manusia. Sebab saat ini bisnis, pekerjaan kantor dan gaya hidup ada dalam genggaman tangan melalui kuota Internet dalam gadget masing-masing.

Psikolog UGM Budi Andayani mengatakan fenomena itu bukan berarti antisosial. “Asosial lebih tepat. Dia tidak peduli sama yang di dekat mata, tetapi lebih peduli sama yang jauh di sana," kata Budi.

Fenomena tersebut menurut Budi adalah dampak era digital. Ia juga menyebut menjadi pelaku bisnis atau belajar melalui media sosial sah untuk dilakukan. Namun, manusia harus menyeimbangkan kesibukan di media sosial dengan interaksi dunia nyata. Sebab kenampuan bersosialisasi dibutuhkan pengalaman nyata. Hal ini yang tidak difasilitasi oleh gadget.

"Kalau phubbing seperti yang sering kita temui itu lebih ke asosial, kalau mereka lebih parah lagi main gadgetnya, baru bisa mengarah ke antisosial. Antisosial levelnya di atas asosial. Misalnya orang-orang yang jadi hacker yang mengarah ke kriminal, itu karena mereka terus lari dari dunia nyata dan sikap asosial mereka meningkat," kata Budi. (ST15)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Bus Damri dari Jogja-Bandara YIA, Bantul, Sleman dan Sekitarnya

Jogja
| Jum'at, 29 Maret 2024, 04:37 WIB

Advertisement

alt

Patahan Pemicu Gempa Membentang dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur, BRIN: Di Dekat Kota-Kota Besar

News
| Kamis, 28 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement