Advertisement

Mengenal Slow Food, Gerakan Kembali ke Pangan Lokal

Lajeng Padmaratri
Selasa, 04 Oktober 2022 - 22:07 WIB
Bhekti Suryani
Mengenal Slow Food, Gerakan Kembali ke Pangan Lokal Ilustrasi fast food sumber karbo - Reuters

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA---Berkembangnya fast food atau makanan cepat saji yang melanda negara-negara global menjadikan kesadaran untuk kembali ke pangan lokal muncul. Gerakan yang dinamai slow food itu mengajak masyarakat untuk lebih sadar terhadap apa yang mereka makan.

Gerakan Slow Food sejatinya sudah dimulai sejak tahun 1980-an oleh seorang aktivis sekaligus jurnalis asal Bra, Italia yang bernama Carlo Petrini. Kala itu, inisiasinya dimulai saat menentang pembukaan cabang restoran cepat saji di Roma sekaligus memulai gerakan slow food.

Advertisement

Jika pada restoran cepat saji, masyarakat seolah digiring pada penyeragaman menu makanan, seperti ayam goreng, burger, dan kentang goreng. Gerakan ini ingin melawan konsep itu dengan mengunggulkan keberagaman makanan, apalagi setiap daerah punya kekhasan pangan lokal masing-masing yang tak perlu diseragamkan oleh fast food.

Slow food bukan gerakan makan secara perlahan. Dikutip dari slowfood.com, gerakan ini ingin semua orang dapat mengakses makanan yang baik untuk mereka, baik untuk mereka yang menanamnya, dan juga baik untuk planet ini. Setidaknya, ada tiga prinsip utama yang mereka patuhi, yaitu baik, bersih, dan adil.

Makanan yang baik memiliki makna bahwa makanan selain enak, juga harus baik dan bergizi serta berkelanjutan untuk alam semesta. Selanjutnya, makanan yang bersih bermakna bahwa makanan aman bagi manusia sebagai sumber pangan sekaligus aman bagi lingkungan sekitar. Proses mengolah makanan seharusnya tidak merusak lingkungan, alam, maupun makhluk hidup lainnya. Kemudian, makanan yang adil ialah makanan yang dapat diakses konsumen memiliki harga yang berkeadilan.

Slow food bertujuan mempertahankan tradisi daerah, makanan enak, kenikmatan gastronomi, dan ritme kehidupan perlahan. Gerakan ini merangkul pendekatan komprehensif terhadap makanan yang berhubungan kuat dengan manusia, planet, politik, dan budaya.

Dimulai di Italia, gerakan ini resmi didirikan di Paris pada 1989. Kini, slow food berkembang ke berbagai komunitas di 160 negara di dunia.

Slow food mengajak masyarakat untuk kembali kepada ritme makanan yang alami, resep tradisional, dan menapaki potensi bahan makanan lokal di tiap wilayah yang berlimpah ruah. Sayangnya, kini kebiasaan memakan makanan lokal makin ditinggalkan, padahal makanan lokal tradisional mengandung gizi yang baik.

Dikutip dari Antara, secara tidak langsung, gerakan ini juga mencakup hal-hal lainnya seperti slow living. Konsep kehidupan lambat ini juga mengajak masyarakat untuk lebih aware terhadap kehidupan lingkungan sekitar dan mengedepankan keberlanjutan.

Praktisi slow living bahkan menggunakan istilah "slow" sebagai akronim untuk menunjukkan berbagai masalah yang menjadi fokus kehidupan lambat.

"S" pada slow mengacu para keberlanjutan atau sustainability. "L" mengacu pada lokal, yang artinya menggunakan bahan dan produk yang secara geografis dekat dengan orang tersebut atau diproduksi di dekat mereka.

Kemudian, "O" mengacu pada organik, yang berarti menghindari produk yang telah direkayasa genetik atau diproduksi secara massal. Terakhir, "W" mengacu pada whole atau keseluruhan atau utuh.

Dampak Fast Food

Kampanye untuk kembali ke pangan lokal bukan tanpa alasan. Masifnya makanan cepat saji dan junk food telah terbukti berdampak negatif bagi tubuh.

Dikutip dari Bisnis, fast food dan junk food memang populer di kalangan konsumen karena mudah diakses, relatif murah, dan siap dimakan langsung. Namun, meningkatnya prevalensi produk itu di seluruh dunia juga berkontribusi pada peningkatan obesitas dan dampak metabolik pada konsumen dari segara usia.

Bahkan, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) menyebut bahwa hampir 40% dari kita mengonsumsi makanan cepat saji pada hari tertentu.

Sebuah studi yang dipimpin oleh Profesor Efrat Monsonego-Ornan dan Janna Zaretsky yang diterbitkan di Jurnal Bone Research menunjukkan bahwa makanan-makanan ini berkorelasi terhadap perkembangan kerangka tulang. Mereka menegaskan jika makanan olahan ultra dapat memiliki dampak negatif pada pertumbuhan kerangka.

"Bahkan jika kita mengurangi lemak, karbohidrat nitrat, dan zat berbahaya lain yang diketahui, makanan ini masih memiliki sifat-sifat yang merusak. Setiap bagian tubuh rentan terhadap kerusakan ini dan tentunya sistem-sistem yang masih betada dalam tahap-tahap perkembangan kritis," kata Monsonego dikutip dari Bisnis.

BACA JUGA: Belajar dari Tragedi Kanjuruhan, Keamanan dan Mitigasi Stadion Perlu Dievaluasi Total

Selain berdampak pada tulang, pola makan fast food membuat kita terhubung dengan peningkatan risiko penyakit jantung. Sebah, fast food biasanya mengandung tinggi lemak jenuh.

American Heart Association merekomendasikan untuk membatasi asupan lemak jenuh tidak lebih dari 13 gram sehari. Sementara, satu burger dan kentang goreng dari restoran cepat saji biasanya sudah melebihi batas itu.

Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Nutrition, peneliti menemukan bahwa satu makanan cepat saji tinggi lemak melihat tekanan darah mereka melonjak 1,25 hingga 1,5 kali lipat dari kelompok makan makanan rendah lemak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis/Slowfood.com

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Sopir Ngantuk, Dua Mobil Adu Banteng di Jalan Jogja-Wonosari hingga Ringsek

Gunungkidul
| Selasa, 19 Maret 2024, 07:57 WIB

Advertisement

alt

Polri Siapkan Pompa Air Antisipasi Banjir di Tol Saat Arus Mudik

News
| Selasa, 19 Maret 2024, 00:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement