Potensi Pandemi Senyap Resistensi Antimikroba
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA - Resistensi Antimikroba (AMR) berpotensi menjadi pandemi senyap (silent pandemic) di tahun-tahun ke depan.
Hal ini lantaran perkembangan kasus AMR di dunia yang cepat dan pesat. Antimikroba digunakan untuk mencegah, mengendalikan, dan mengobati penyakit menular pada manusia, hewan dan tumbuhan. Sayangnya saat ini penggunaan antimikroba semakin tidak efektif.
Advertisement
Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan, Anis Karuniawati, mengatakan sangat sedikit obat baru yang dikembangkan untuk menggantikan antimikroba. Terjadinya AMR telah menyebabkan infeksi sulit atau tidak mungkin untuk diobati.
Hal itu membuat risiko penyebaran penyakit meningkat, begitu pula pada jumlah penderita penyakit parah, kematian, serta dapat membalikkan kemajuan dalam ilmu kedokteran saat ini. Masalah ini harus mulai mendapatkan perhatian dari semua pihak, karena kebutuhan laboratorium yang tersebar di Indonesia belum terpenuhi secara merata. Banyak antibiotik diberikan tanpa mengetahui persis penyebab dari penyakit yang diderita.
Kondisi ini, menjurut Anis, memperlihatkan secara jelas bahwa akan ada peningkatan masalah AMR di Indonesia. Tiap tahun terjadi peningkatan prevalensi bakteri resisten antibiotik yang menjadi penyebab infeksi, terutama infeksi berat, seperti radang paru-paru dan sepsis.
Di tahun 2019, prevalensi dua jenis bakteri yang resisten terhadap sefalosporin generasi 3 mencapai lebih dari 60 persen. Oleh karenanya, AMR harus diatasi dengan pendekatan one health yang mengajak semua pihak berkontribusi bersama-sama.
“WHO bahkan mendeklarasikan AMR sebagai salah satu dari 10 besar ancaman kesehatan masyarakat global yang dihadapi umat manusia,” ujar Anis dalam Media Gathering Bersama WHO dan FAO di Jakarta, Rabu (12/10/2022).
Technical Officer (AMR) WHO Indonesia, Mukta Sharma, mengatakan penyalahgunaan dan penggunaan antimikroba yang berlebihan pada manusia, hewan, dan tumbuhan mempercepat perkembangan dan penyebaran AMR di seluruh dunia.
Studi global telah memperkirakan bahwa lebih dari 4,9 juta orang meninggal di 204 negara pada tahun 2019. Kematian ini terjadi baik secara langsung atau tidak langsung, karena infeksi bakteri yang resisten terhadap antibiotik.
“Orang yang terkena AMR harus menghadapi penyakit berkepanjangan, durasi pengobatan lebih lama, tantangan kesehatan mental, stigma sosial, dan beban keuangan yang tinggi,” ucap Mukta.
Deputi Menteri Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK RI, Agus Suprapto, memperkirakan perkembangan kasus AMR akan terus berlanjut. Hingga tahun 2050 mendatang, jumlah korban jiwa akibat AMR bisa mencapai 10 juta jiwa per tahun.
Hal ini lantaran AMR akan membuat para penderita penyakit yang disebabkan oleh mikroba tidak dapat ditangani, bahkan angka kematian tersebut diperkirakan melampaui angka kematian akibat penyakit jantung kanker dan diabetes.
Berdampak pada Ekonomi
Agus mengungkapkan AMR tidak hanya akan berdampak pada manusia maupun hewan dari segi kesehatan. Faktor lain yang berpotensi terdampak dari sektor ekonomi, seperti pada tahun 2008 silam.
"Tidak hanya berdampak pada korban jiwa, namun dampak ekonomi dari resistensi antimikroba diperkirakan oleh World Bank serupa dengan krisis ekonomi dunia pada tahun 2008," kata Agus.
Dalam perkiraan terburuk, AMR akan berdampak pada penurunan status negara berkembang menjadi negara miskin pada tahun 2050 mendatang.
"Skenario terburuk dampak ekonomi resistensi antimikroba terjadi akibat tidak efektifnya atau tidak dibuatnya treatment infeksi terutama di negara-negara low income countries yang bisa memicu kehilangan 5% dari daya belinya, angka ini akan mendorong 28 juta negara berkembang untuk masuk miskin pada tahun 2050," katanya.
Country Team Leader FAO ECTAD Indonesia, Luuk Schoonman, memperkirakan apabila masalah AMR tidak ditangani secepatnya, dalam waktu satu dekade saja, lebih dari 24 juta orang akan jatuh dalam jurang kemiskinan ekstrem dan kelaparan hebat.
Luuk menjelaskan AMR dapat menyebar di antara inang dan lingkungan yang berbeda, dan mikroorganisme yang resisten terhadap antimikroba dapat mencemari rantai makanan. Sehingga bidang pertanian yang berkontribusi menyebarkan AMR dan menyebabkan kerugian produksi pangan sampai membahayakan ketahanan pangan.
“Kita harus bertindak sekarang, tidak menunggu sampai AMR menjadi lebih buruk dan mempengaruhi lebih banyak orang di dunia,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara & Bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- 11 Cara Kematian Paling Menyakitkan Menurut Sains
- Selain Enak, Deretan Makanan Super Ini Bisa Cegah Penyakit
- Manfaat Tertawa, Menggigil, hingga Muntah pada Tubuh Anda
- Sejumlah Zodiak Ini Diramalkan Menikah di Tahun 2023
- Seorang Ibu Minum ASI Sendiri karena Tak Rela Jika Dibuang
- Wajah dan Tubuh Tidak Simetris, Ini Penyebabnya
Advertisement
Advertisement